Euforia maba part 2 : Sosialisasi ke SMA atau istilah kerennya, Roadshow.
Suatu kegiatan yang telah ditunggu mahasiswa baru terutama perguruan tinggi negeri.
Suatu ajang dimana "akhirnya" para maba dapat mengenakan almamater kebanggaan mereka, dengan lambang makara universitas tersemat di dada.
Mereka sebagai representasi dari universitas, kembali ke kampung halaman dengan berbagai tujuan.
Entah untuk memberi motivasi kepada adik-adik untuk melanjutkan kuliah, atau mempromosikan acara paguyuban masing-masing dengan embel-embel SBMPTN dalam rangka divisi dana usaha mendapatkan rupiah demi rupiah untuk ditambahkan ke dalam kas, atau hanya sekadar menemui adik kelas dengan sikap 'ini-saya-datang-ke-sekolahmu-memakai-almamater-ptn-terkenal' atau menemui teman lama untuk saling membandingkan almamater masing-masing dan berswafoto ria, sembari mengangkat dagu dan membusungkan dada.
Namun apapun tujuannya, kebanggaan pasti terselip di dalam diri apabila seorang mahasiswa menggenggam nama universitas top di Indonesia dan rasa iri hati yang tersembunyi apabila ternyata kamu tidak berkuliah di tempat yang kau mau dan melihat temanmu berbahagia dengan kampusnya sekarang.
Saya sendiri tidak bisa memungkiri, saya bangga, sekaligus memikul beban bahwa universitas tempat saya belajar sekarang merupakan nomor satu di Indonesia berdasarkan penilaian beberapa institusi. Dan semua sikap saya saat roadshow akan menjadi cerminan keseluruhan mahasiswa Universitas Indonesia di mata siswa SMA yang saya datangi.
Baru dua hari roadshow saya jalani bersama paguyuban, namun sedikit banyak membuka mata saya mengenai beberapa fakta pendidikan di Indonesia khususnya di Kota Serang;
Betapa masih banyaknya pelajar di provinsi Banten enggan melanjutkan ke jenjang perkuliahan karena alasan yang sama; ekonomi.
Faktor ekonomi ini mengakar dan terus menjalar, perekonomian keluarga yang sulit memaksa mereka memendam keinginan untuk melanjutkan pendidikan, orangtua merekalah yang melarang mereka untuk berkuliah dan terkadang menyuruh mereka untuk bekerja saja atau bahkan menikahkan putra-putri mereka yang masih berusia pelajar agar lepas dari beban orangtua.
Pola pikir, untuk apa kuliah? Buang-buang uang saja masih banyak saya temui di 3 dari 4 sekolah yang saya kunjungi selama dua hari ini.
Miris, betapa sekolah di pusat ibukota provinsi Banten justru tertinggal dalam hal pendidikan.
Salah seorang siswi yang saya ajak berbincang singkat berkata bahwa betapa dia ingin berkuliah, hanya saja biaya kuliah sangat mahal.
Pada saat itulah saya bersyukur mengikuti roadshow ini,
bahwa saya bisa membagikan informasi kepada adik-adik sma dan mendorong mereka untuk melanjutkan pendidikan.
Saya coba jelaskan kepadanya dengan sederhana bahwa tidak ada lagi istilah kuliah hanya untuk orang kaya, bahwa pemerintah sudah memfasilitasi siswa yang kurang mampu melalui program bidikmisi,
bahwa semua siswa BISA berkuliah,
bahwa semua siswa BERHAK berkuliah..
Rasa sedih sekaligus kagum dengan antusiasme mereka ketika menyambut kami para mahasiswa untuk memberikan sosialisasi membuncah dalam diri saya.
Sambutan hangat dari guru-guru di sekolah terpencil juga merupakan hal yang saya salutkan, kedatangan kami para mahasiswa disambut hangat dan penuh penghargaan layaknya pahlawan. Sikap mereka sangatlah menghangatkan hati saya dan membuat saya berpikir betapa guru-guru ini sebenarnya menginginkan para siswanya memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari mereka. Hal ini berbanding terbalik dengan sekolah di pusat kota yang menganggap bahwa kedatangan kami justru mengganggu jam belajar, meski tidak semua sekolah di pusat kota bersikap begitu.
Daripada disebut memberikan pelajaran kepada adik-adik sma, justru sayalah yang lebih banyak belajar dari mereka. Walaupun baru dua hari, kegiatan ini sedikit banyak membuka mata dan pikiran saya.
Perjalanan baru saja dimulai,
masih banyak sekolah yang belum saya sambangi,
masih banyak ilmu yang belum saya dapat,
dan saya siap menghadapinya.



.jpg)


